Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhiraar ( wafat 56 th )
Telah kita ketahui bahwa setiap
istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki suatu kelebihan. Demikian
juga halnya dengan Juwairiyah yang telah membawa berkah besar bagi kaumnya,
Bani al-Musthaliq. Bagaimana tidak, setelah dia memeluk Islam, Bani
al-Musthaliq mengikrarkan diri menjadi pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Hal ini pernah diungkapkan Aisyah, “Aku tidak mengetahui jika ada
seorang wanita yang lebih banyak berkahnya terhadap kaumnya daripada
Juwairiyah.”
Juwairiyah adalah putri seorang
pemimpin Bani al-Musthaliq yang bernama al-Harits bin Abi Dhiraar yang sangat
memusuhi Islam. Rasulullah memerangi mereka sehingga banyak kalangan mereka
yang terbunuh dan wanita-wanitanya menjadi tawanan perang. Di antara tawanan
tersebut terdapat Juwairiyah yang kemudian memeluk Islam, dan keislamannya itu
merupakan awal kebaikan bagi kaumnya.
Kelahiran dan Masa
Pertumbuhannya
Juwairiyah dilahirkan empat
belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Semula namanya adalah Burrah, yang
kemudian diganti menjadi Juwairiyah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti
al-Harits bin Abi Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin
Musthaliq bin Khuzaah. Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih
musyrik dan menyembah berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi
keluarga seperti itu. Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai
keluarga seorang pemimpin. Dia adalah gadis cantik yang paling luas ilmunya dan
paling baik budi pekertinya di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan
seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan.
Berada dalam Tawanan
Rasulullah
Di bawah komando al-Harits bin
Abi Dhiraar, orang-orang munafik berniat menghancurkan kaum muslimin. Al-Harits
sudah mengetahui kekalahan orang-orang Quraisy yang berturut-turut oleh kaum
muslimin. Al-Harits beranggapan, jika pasukannya berhasil mengalahkan kaum
muslimin, mereka dapat menjadi penguasa suku-suku Arab setelah kekuasaan bangsa
Quraisy. Al-Harits menghasut pengikutnya untuk memerangi Rasulullah dan kaum
muslimin. Akan tetapi, kabar tentang persiapan penyerangan tersebut terdengar
oleh Rasulullah, sehingga beliau berinisiatif untuk mendahului menyerang
mereka. Dalam penyerangan tersebut, Aisyah Radhiyallahu ‘anha turut bersama
Rasulullah, yang kemudian meriwayatkan pertemuan Rasulullah dengan Juwairiyah
setelah dia menjadi tawanan. Perang antara pasukan kaum muslimin dengan Bani
al-Musthaliq pun pecah, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan muslim. Pemimpin
mereka, al-Harist, melarikan diri, dan putrinya, Juwairiyah, tertawan di tangan
Tsabit bin Qais al-Anshari. Juwairiyah mendatangi Rasulullah dan mengadukan
kehinaan dan kemalangan yang menimpanya, terutama tentang suaminya yang
terbunuh dalam peperangan.
Tentang Juwairiyah, Aisyah
mengemukakan cerita sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Saad dalam
Thabaqatnya, “Rasulullah menawan wanita-wanita Bani Musthaliq, kemudian beliau
menyisihkan seperlima dari antara mereka dan membagikannya kepada kaum
muslimin. Bagi penunggang kuda mendapat dua bagian, dan lelaki yang lain
mendapat satu bagian. Juwairiyah jatuh ke tangan Tsabit bin Qais bin Samas
al-Anshari. Sebelumnya, Juwairiyah menikah dengan anak pamannya, yaitu Musafi
bin Shafwan bin Malik bin Juzaimah, yang tewas dalam pertempuran melawan kaum
muslimin. Ketika Rasulullah tengah berkumpul denganku, Juwairiyah datang
menanyakan tentang penjanjian pembebasannya. Aku sangat membencinya ketika dia
menemui beliau. Kemudian dia benkata, ‘Ya Rasulullah, aku Juwairiyah binti
al-Harits, pemimpin kaumnya. Sekarang ini aku tengah berada dalam kekuasaan
Tsabit bin Qais. Dia membebaniku dengan sembilan keping emas, padahal aku
sangat menginginkan kebebasanku.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau menginginkan
sesuatu yang lebih dari itu?’ Dia balik bertanya, ‘Apakah gerangan itu?’ Beliau
menjawab, ‘Aku penuhi permintaanmu dalam membayar sembilan keping emas dan aku
akan menikahimu.’ Dia menjawab, ‘Baiklah, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, ‘Aku
akan melaksanakannya.’ Lalu tersebarlah kabar itu, dan para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Ipar-ipar Rasulullah tidak layak menjadi
budak-budak.’ Mereka membebaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang jumlahnya
hingga seratus keluarga karena perkawinan Juwairiyah dengan Rasulullah. Aku
tidak pernah menemukan seorang wanita yang lebih banyak memiliki berkah
daripada Juwairiyah.”
Selain itu, Aisyah sangat
memperhatikan kecantikan Juwairiyah, dan itulah di antaranya yang menyebabkan
Rasulullah menawarkan untuk menikahinya. Aisyah sangat cemburu dengan keadaan
seperti itu. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat baik
kepada Juwairiyah bukan semata karena wajahnya yang cantik, melainkan karena
rasa belas kasih beliau kepadanya. Juwairiyah adalah wanita yang ditinggal mati
suaminya dan saat itu dia telah menjadi tawanan rampasan perang kaum muslimin.
Mendengar putrinya berada dalam
tawanan kaum muslimin, al-Harits bin Abi Dhiraar mengumpulkan puluhan unta dan
dibawanya ke Madinah untuk menebus putrinya. Sebelum sampai di Madinah dia
berpendapat untuk tidak membawa seluruh untanya, namun dia hanya membawa dua
ekor unta yang terbaik, yang kemudian dibawa ke al-Haqiq di bawah pengawasan
para pengawalnya. Lalu dia pergi ke Madinah dan menemui Rasulullah di masjid.
Terdapat dua riwayat yang menerangkan pertemuan al-Harits dengan Rasulullah.
Dalam riwayat pertama, seperti yang diungkapkan Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya,
dikatakan bahwa Rasulullah menyerahkan keputusan kepada Juwairiyah.
Juwairiyah berkata, “Aku telah
memilih Rasulullah ..” Ayahnya berkata, “Demi Allah, kau telah menghinakan
kami.” Dalam riwayat kedua seperti yang disebutkan Ibnu Hisyam bahwa al-Harits
menemui Rasulullah dan berkata, “Ya Muhammad, engkau telah menawan putriku. Ini
adalah tebusan untuk kebebasannya.” Rasulullah menjawab, “Di manakah kedua unta
yang engkau sembunyikan di al-Haqiq? Di tempat anu dan anu?” Al-Harits
menjawab, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan engkau adalah utusanNya.
Tiada yang mengetahui hal itu selain Allah.” Al-Harits memeluk Islam dan
diikuti sebagian kaumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminang
Juwairiyah dengan mas kawin 400 dirham.
Berada di Rumah
Rasulullah
Ketika Juwairiyah menikah dengan
Rasulullah, beliau mengubah namanya, yang asalnya Burrah menjadi Juwairiyah,
sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat-nya Ibnu Saad, “Nama Juwairiyah binti
al-Harits merupakan perubahan dari Burrah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menggantinya menjadi Juwairiyah, karena khawatir disebut bahwa beliau
keluar dari rumah burrah.”
Juwairiyah telah memeluk Islam
dan keimanan di hatinya telah kuat. Semata-mata dia mengikhlaskan diri untuk
Allah dan Rasul-Nya. Ibnu Abbas banyak meriwayatkan shalat dan ibadahnya, di
antaranya, “Ketika itu Rasulullah hendak melakukan shalat fajar dan keluar dari
tempatnya. Setelah shalat fajar dan duduk hingga matahani meninggi, beliau
pulang, sementara Juwairiyah tetap dalam shalatnya. Juwairiah berkata, ‘Aku
tetap giat shalat setelahmu, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Aku akan
mengatakan sebuah kalimat setelahmu. Jika engkau kerjakan, niscaya akan lebih
berat dalam timbangan, ‘Maha Suci Allah, sebanyak yang Dia ciptakan. Maha Suci
Allah Penghias Arsy-Nya. Maha Suci Allah, unsur seluruh kalimat-Nya.”
Setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam meninggal dunia, Juwairiyah mengasingkan diri serta
memperbanyak ibadah dan bersedekah di jalan Allah dengan harta yang diterimanya
dari Baitul-Mal. Ketika terjadi fitnah besar berkaitan dengan Aisyah, dia
banyak berdiam diri, tidak berpihak ke mana pun.
Saat Wafatnya
Juwairiyah wafat pada masa
kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pada usianya yang keenam puluh. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Rasulullah yang
lain. Semoga Allah rela kepadanya dan kepada semua istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Semoga Allah memberikan
kemuliaan kepadanya di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh.
Amin.
(Dinukil dari buku
Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh)