Mariyah
al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M)
Seorang wanita asal Mesir yang
dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah
dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama
Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan
meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Seperti halnya Sayyidah Raihanah
binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau
bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau
memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun
memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri
Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahim, setelah
Khadijah.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah, tidak
banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti
Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn.
Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi
Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah
dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah mengirim surat kepada
Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk Islam. Raja
Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk
Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi,
serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah
perjalanan Hatib merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan
kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan
Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan
tersebut.
Rasulullah telah menerima kabar
penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap
budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan
menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain
sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah
harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah
rnasjid.
Ibrahim bin Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam
Allah menghendaki Mariyah
al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Radhiyallahu
‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah,
terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal
dunia.
Mariyah mengandung setelah
setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena
telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang
anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada
bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang
kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama
bapak para nabi, Ibrahim Alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah
sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri
Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan
dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan
terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini
menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan
Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat
firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa kamu
mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan
hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya
kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah
karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika
pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man
al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di
sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah
memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu.
Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa
Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak
seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan
golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong
dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan
bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah
setelah Ali Radhiyallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi
menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan
belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya.
Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit
Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim
dalam keadaan sekarat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami
tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata
telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini
bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli
masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini.
Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih,
dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi ketika
menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau
tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh
manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah wafat,
Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada
Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-16
hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang
menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’.
Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
Sumber: Buku
Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh